Rabu, 30 Mei 2012

Reformasi Sistem Pengorganisasian Negara pada Pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten


Reformasi Sistem Pengorganisasian Negara pada Pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten

Birokrasi di Indonesia mengidap biropatologi yang parah, ditandai oleh
beberapa gejala :

a) tidak adanya grand design yang terencana dan berkesinambungan dalam rangka mencapai visi dan misi nasional yang telah ditetapkan dalam RPJP Nasional, sehingga kebijakan yang diambil bersifat adhoc, parsial, sepotong-sepotong;

b) jumlah pegawai (tetap dan kontrak kerja) setiap tahun terus membengkak, tanpa ada standar yang jelas mengenai kebutuhan formasi untuk setiap entitas pemerintahan. Penambahan pegawai lebih didasarkan pada pendekatan politis untuk menjadikan lembaga pemerintah sebagai penampungan tenaga kerja yang terus meningkat tetapi belum dapat diserap oleh sektor lainnya.

c) belum ada standar kompetensi menurut jenis jabatan, sehingga pengisian jabatan lebih didasarkan pada like and dislike, yang kemudian mendorong terjadinya politisasi birokrasi. Hal ini sangat terasa bagi birokrasi di daerah. Setiap lima tahun mereka “memasang dadu” untuk nasib jabatan mereka tanpa adanya pola pengembangan karier yang jelas.
d) belum adanya pengukuran kinerja individu yang berbasis pada kompetensi dan berkait dengan pemberian imbalan. DP3 sebagai alat represi terhadap bawahan masih terus dipertahankan;

e) mekanisme kenaikan pangkat yang menggunakan model jaman “kuda menggigit besi” masih tetap dipertahankan. DRH dan DRP HARUS DITULIS TANGAN SENDIRI, dan diisi ulang sejak dari capeg

f) model organisasi birokrasi yang digunakan di Indonesia sudah sangat usang, yakni model organisasi struktural (Generasi Kedua), padahal teori organisasi sudah berkembang sampai generasi kelima.

BEBERAPA FAKTA EMPIRIK
• Anggaran belanja pegawai sudah jauh melampaui belanja publik, sehingga keberadaan pemda lebih banyak mengurus dirinya sendiri dibandingkan mengurus rakyatnya sebagai pemilik kedaulatan. Apakah Pemda semacam ini masih perlu dipertahankan?

• Organisasi pemerintah daerah umumnya sangat besar, selain karena desakan dari pegawai yang pangkatnya terus naik (empat tahun kejemur apel pagi dan siang tanpa prestasi apapun, otomatis naik pangkat)., juga karena adanya intervensi K/L melalui penyelundupan pasal-pasal dalam UU sektoral.

• Ada paradoksal dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Semakin besar urusan diserahkan kepada daerah tetapi birokrasi di tingkat nasional justru semakin membesar, baik jumlah kementeriannya maupun eselon I nya.

• Perubahan dalam rangka desentralisasi hanya terjadi pada dua dimensi yakni structural dan fungsional, sedangkan dimensi kulturalnya tetap sentralistik. Hal tersebut nampak dari adanya dana “dekonsentrasi semu” (+/- 33 T) dan “ Tugas Pembantuan semu “(+/- 9 T).

• Bentuk kelembagaan pemerintahan daerah mengikuti bentuk kelembagaan di tingkat nasional, karena ketidakcocokan model pembagian urusan pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007), yang menyamaratakan semua kabupaten/kota, maupun semua provinsi. Model “Cafetaria System” yang digunakan pada PP Nomor 38 Tahun 2007 dalam implementasinya tidak jalan, karena secara moral, pemerintahan daerah senang apabila memiliki kewenangan yang luas, dengan harapan dapat bantuan yang lebih besar. Padahal semakin besar kewenangan pemerintahan, akan semakin besar pertanggung jawabannya kepada publik.

• Melalui prinsip “structure follow function” , maka struktur organisasi pemerintahan daerah akan membesar seiring dengan semakin luasnya urusan pemerintahan yang ditawarkan kepada daerah. Daerah cenderung memilih semuanya, tanpa ada pertimbangan apakah urusan tersebut dibutuhkan atau tidak didaerahnya. (Dari 8 urusan pilihan, hampir keseluruhan daerah memilih semua urusan pilihan tersebut, tanpa dikaitkan dengan visi dan misi daerah otonomnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar