1.
Militer di Zaman Orde Baru
a. Politik Soeharto terhadap Militer
Sudah
menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus
Polisi Republik Indonesia (Polri)-adalah satu komponen negara yang memiliki
nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra
solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer
tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak
selalu berjalan harmonis. Fenomena perpecahan kelompok di dalam tubuh TNI dan
Polri tidak hanya terjadi sekarang saja. Sebelumnya pun intrik internal
senantiasa terjadi. Pergulatan internal ABRI terjadi pula pada masa Soeharto.
Sekelumit
tentang bukunya, Jenkins melakukan penelitian resmi terhadap ABRI dan
hubungannya dengan Soeharto selama 14 bulan, yaitu antara tahun 1981-1982;
tetapi jauh sebelum itu ia sudah memiliki pengalaman pribadi dengan birokrasi
Indonesia ketika bertugas menjadi koresponden Far Eastern Economic Review
pada tahun 1976-1980. Dalam bukunya Jenkins menyimpulkan, sampai dengan tahun
1980 secara garis besar ABRI sedikitnya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama,
yaitu para pejabat teras ABRI yang memiliki kedekatan khusus dengan presiden
dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Dalam
pengejawantahannya, kelompok ini mengintervensi kehidupan masyarakat dengan
menduduki posisi penting dalam tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat dalam
bentuk kekaryaan, seperti menjadi menteri, duta besar, anggota dewan perwakilan
rakyat, komisaris atau direktur badan usaha milik negara (BUMN), bankir, rektor
universitas, gubernur, bahkan sampai tingkat yang lebih rendah lagi menjadi
bupati. Kelompok ini juga mendukung hubungan mesra ABRI dengan Golongan Karya
(Golkar).
Kelompok
kedua adalah para pejabat dan perwira yang menginginkan agar ABRI dapat
berdiri di atas semua golongan, tidak berpihak, dan menjadi pengayom bagi
seluruh lapisan masyarakat. Tidak menjadi pengecualian, ABRI tidak ditolelir
menitikberatkan dukungannya terhadap Golkar, partai politik terbesar di
Indonesia yang menjadi tumpuan pijakan kekuasaan Soeharto.
Perbedaan
pendapat di antara para anggota ABRI ini berlangsung cukup lama dan semakin
meruncing, ketika Jenderal M. Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI. Sejak akhir
tahun 1978 hingga awal tahun 1980, Jusuf mengkampanyekan manunggalnya ABRI
dengan rakyat. Artinya, ABRI menjadi bagian dari rakyat dan tidak memihak satu
golongan tertentu saja. Situasi ini sebenarnya berbahaya buat militer dan juga
Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya yang banyak ditopang oleh ABRI.
Kemudian Soeharto dalam pidatonya di Pekanbaru, Riau, Secara implisit Soeharto
telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar.
b.
Dampak dominasi militer dalam peran politik
Peniadaan
peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua pertimbangan,
pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan mengurangi
profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka dalam menghapi
ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik ABRI dinilai
menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat hierarkis dan
disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang menuntut
adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak secara otonom.
Dampak
dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :
1).
Munculnya
rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi
Banyak
kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan bagian
faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong
terciptanya zaman otoriterism. Posisi militer pada masa orde baru mempunyai 4 (empat)
dampak . Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah
mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur
tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah
mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi
di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang
hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan “oknum” TNI/ABRI,
banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus
tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat,
keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya
sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau “oknum”
militer yang biasanya dibungkus dengan kata “kerja sama” dengan sipil yang
berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.
Sementara
itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa kelembagaan militer (military
previlege ) yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan terjadinya
konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil. Begitu juga
pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga menyebabkan
terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk menghambat proses
demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang. Eep Saefullah Fatah menyatakan
bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron : dua buah kata yang tidak
mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam politik adalah
sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat
dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem
politik dari intervensi militer. Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk,
Keterlibatan militer dalam politik akan merusak kompetisi politik, mendistorsi
kebijakan politik, serta menciptakan berbagai kerusuhan dan keresahan sosial
dalam rangka bargaining politik keamanan. Bahkan Samuel Hutington menganalisa
bahwa intervensi militer dalam politik adalah menyalahi kode etik
keprofesionalannya, bahkan dikatakan sebagai tanda adanya political decay
(pembusukan politik).
Mengutip
studi Robert K. Clark, di delapan negara dunia ketiga, disimpulkan
bahwa gejala naiknya kekuasaaan militer memang merupakan gejala umum dunia
ketiga sebagaimana gejala maraknya otoriterisme. Sipilisasi tidak selalu
mendatangkan demokratisasi, tapi militerisasi justru hampir selalu
mendatangkaan otoritarisasi. Nordlinger menegaskan, jika sebuah pemerintahan
dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme.
Pada
masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia
dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer membawa dampak
bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan
kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai
politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap
aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan
sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi
sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971),
Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998),
Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan
aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki KontraS (komisi
orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban
tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh, suramnya penyelesaian
masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer di Timor-Timur, Aceh,
Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai
keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan
pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan
penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam
netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol atau
memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam
DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam
penyelenggaraan Negara.
2). Mempengaruhi profesionalisme
militer
Huntington
menegaskan :
Politik
menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini terdiri
dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan yang
mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah untuk
membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan
partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka,
membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka
sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing.
Perwira militer harus netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah
mengizinkan pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat
politik.
c.
Faktor penyebab dominannya peran politik yang dimiliki militer
Secara
umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer dalam
politik. Perlmutter (1980), Huntington (1959), dan Welch (1970) melihat faktor
eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer keranah sosial-politik,
sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger (1994) melihat faktor internal militer
(kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer kedomain
sipil22.
Dorongan
keterlibatan militer Indonesia dalam peran diluar peran aslinya secara
sederhana dapat dilihat ditabel berikut :
Faktor
|
Penjelasan
|
Internal ABRI
|
|
Eksternal ABRI
|
|
Sumber:
DPW-LIPI
Menurut
Yahya A. Muhaimin ada faktor eksternal dan internal yang mendorong militer
secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik. Faktor
eksternal diantaranya : pertama, adanya ketidak stabilan sistem politik.
Keadaan seperti ini terbuka kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan
kekerasan di dalam kehidupan politik. Kedua, kemampuan golongan militer
untuk mempengaruhi atmosfer kehidupan politik, bahkan untuk mendapatkan
peranan-peranan politik yang menentukan. Ketiga, political perspektif
kaum militer atas kerja elite sipil. Dalam suatu keadaan di mana kepemimpinan
politik sipil dianggap militer tidak beres, korup, lemah dll, maka dorongan
intervensi militer semakin besar.
Sedangkan
faktof internal adalah: pertama, kepentingan golongan militer.
Kepentingan ini berupa; kepentingan militer sebagai satu institusi, dapat juga
sebagi satu kepentingan kelas, dapat kepentingan daerah dan dapat juga
kepentingan pribadi. Kedua, momentum psikologis militer dalam
menggerakkan diri memasuki arena politik. Ada 2 elemen dalam ini. Pertama,
militer menyadari dirinya memiliki kekuatan tidak terkalahkan dalam masyarakat.
Kedua, perasaan dendam dan kecewa kalangan militer terhadap sipil karena
rasa harga-dirinya yang tinggi.
Faktor
penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia pada pemerintahan orde
baru adalah:
1). Momentum pemberontakan PKI dan balas jasa
kepada militer
Faktor
ini sebenarnya masuk dalam persepsi militer atas kegagalan pemerintahan sipil,
penulis sengaja memisahkannya untuk memberikan titik tekan yang lebih.
Harold
Crouch menyatakan:
Indonesia
memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai
runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan semakin
merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan Darat
menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar biasa pada
masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari rongongan
komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno merosot secara drastis
pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun bergeser dari
istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto selaku pemegang
kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.
Peristiwa
PKI hanyalah momentum untuk menguatkan posisi militer dalam peran politik yang
telah dimainkan sebelumnya atau meminjam istilah Eric A Nordlinger, naiknya
Soeharto pasca pemberontakan PKI merupakan peralihan status ABRI dari
“moderator praetorian” menjadi “penguasa pretorian”.
2). Persepsi atas kegagalan pemerintahan sipil
Dalam
Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana dikutip Bilveer
Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi adalah:
a)
Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren sosial politik
lebih besar.
b)
Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya yang dapat
menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.
c)
ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat banyaknya
krisis negara yang telah dialami 27 .
Persepsi
militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga faktor
yakni instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai pemberontakan
di daerah serta terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami
inflasi 1000 persen lebih). Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde lama,
militer Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan sebagaimana
penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan investasi
asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan, argumentasi
didasarkan beberapa hal :
a)
Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan dan
persebaran komunisme di negara-negara berkembang.
b)
Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara
(profesionalisme)
c)
Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi
d)
Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai modern.
e)
Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang mampu
menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada instabilitas.
f)
Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis, kepakaran,
dan pengetahuan organisatoris.
g)
Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi
permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan
Terakhir,
fungsi mililter yang” mempersatukan” dalam mengatasi konflik etnis, dipuji
sebagai personifikasi bangsa.
3). Menjaga stabilitas sebagai faktor utama
pembangunan ekonomi
Ketika
pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada masalah pembangunan ekonomi,
maka prasyarat utamanya tentunya masalah stabilitas politik. Lucyan W Pye
menegaskan: polical develompent as stabillity and orderly change.
Bagaimana korelasi atas stabilitas politik dengan pertembuhan ekonomi? Meminjam
istilah Pye, political development as prerequisite of economy development.
Negara pasca kolonial mempunyai masalah dalam pembangunan ekonomi yakni terkait
modal dan teknologi. Oleh karenanya bisa dipahami peraturan pertama yang
dikeluarkan Soeharto terkait dengan investasi. Kebutuhan akan modal asing
inilah yang mendasari pemerintahan orde baru menciptakan stabilitas. Tidak ada
kekuatan di Indonesia saat itu yang lebih memungkinkan digunakan untuk
menciptakan stabilitas selain militer. Atas pertimbangan inilah kemudian
Soeharto melakukan upaya menciptakan stabilitas politik, salah satu langkah
yang diambil yakni menempatkan militer dalam posisi strategis pemerintahan dan
lembaga politik khususnya Golkar dan lembaga legislatif. Fungsinya untuk
mengawasi aktivitas politik masyarakat dan ”mengikat kaki dan tangan” partai
politik agar tidak melakukan aktivitas oposisi. Pemerintahan orde baru
terpengaruh pula dengan teori modernisasi yang menggambarkan demokrasi dimulai
dengan pembangunan ekonomi (Lipset ataupun Huntington). Wajar kiranya ketika
orbe baru ”menahan” demokrasi dengan dalih pembangunan ekonomi. Menahan
demokrasi sampai saat tertentu untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dapat
dipahami, akan tetapi Soeharto melakukan kesalahan dengan membiarkan dominasi
militer terus berlangsung.
4). Upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan,
ketaatan serta hasrat kekuasaan perwira.
Naiknya
Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta militer, bukan dari
mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet pemerintahan dari tangan Soekarno
ketangan Soeharto masih menyimpan banyak misteri. Dominasi militer dalam
pemerintahan orde baru, harus dilihat pula sebagai upaya Soeharto
mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat relevan ketika Soeharto secara
pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar sebagai ketua dewan pembina ataupun
mendorong militer untuk mendominasi struktur Golkar agar memastikan Golkar
dapat keluar sebagai pemenang sehingga bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto.
Keinginan Soeharto melanggengkan kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan
para perwira militer, apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan
bentuk ketaatan terhadap otoritas politik untuk memberikannya peran yang
dominan dalam perpolitikan, namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat
kekuasaan yang kuat. Tentunya kalangan militer mempunyai hasrat kekuasaan yang
sama kuatnya dengan kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi
kecenderungan global. Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang
pensiun dini (alih satus) sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun
pemilihan kepala daerah menunjukkan hasrat tersebut.
5). Memperjuangkan kepentingan militer
Eric
A. Nordlinger menegaskan bahwa, anggaran dana tahunan militer yang memadai
merupakan salah satu kepentingan korporat militer. Campur tangan militer Peru
diantara rangkaian kudeta yang terjadi antara tahun 1912-1964, dikarenakan
pemerintahan sipil berusaha menurunkan anggaran belanja militer. Oleh
karenanya, penguasa yang menggantikan pemerintah yang ditumbangkan segera
melakukan relokasi demi meningkatkan jumlah anggaran militer. Arif Yulianto
melihat setidaknya ada 3 ( tiga ) kepentingan yang memainkan peranan amat
penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik, yaitu: Pertama,
militer dalam memperjuangkan kepentingan kelompok atau organisasi, baik untuk
memperoleh fasilitas-fasilitas militer maupun untuk memberikan gaji yang layak
kepada anggotanya, jika para pemimpin sipil gagal untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer yang lebih besar
untuk terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. Kedua, korps
militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila
pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira
militer diperkirakan akan melakukan tekanan terhadap pemerintah, bahkan
kemungkinan menjatuhkannya. Ketiga, para pemimpin puncak militer dapat
pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer
dengan menempatkan mereka di dalam petronase pemerintah.
2.
Militer di Era Reformasi
Gelombang
reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi
hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah
mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi
dan reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi beberapa organisasi ABRI yang
dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi seperti Badan Pembinaaan
Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam
struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster)
TNI, serta likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang
membuat militer mengontrol kehidupan politik.
Reformasi
mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan
redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan
secara langsung menjadi tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki
menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah dari konsep harus selalu di depan
menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk melakukan
pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima
ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh
hati. Makna substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya
superior, serba lebih tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi
politik sipil. Pola pikir seperti ini yang masih membuat lambatnya perubahan
yang terjadi di internal militer.
Demokratisasi
politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan
kebijakan yang menata sistem keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah
positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan Polri, April 1999. tindakan
kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir dengan
intervensi kepentingan militer. Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI
Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran
TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945,
termasuk ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang
menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini sempat
menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI dengan Polri
adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan menilai pemisahan tugas
dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan keamanan, berpotensi menimbulkan
masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan
potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan.
Arus
reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam TNI. Pada
era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal dari AD. Abdurrahman
Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak tradisi ini dengan mengangkat
seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati
Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI
diisi kembali dari AD. Di penghujung pemerintahan Megawati, Undang-undang
34/2004 tentang TNI disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat
secara bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD)
Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil Pemilu 2004
Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko Suyanto sebagai
Panglima TNI.
KontraS
mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan maupun yang masih
aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun
jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono
Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak
diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali
fakta di lapangan berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap tergoda untuk
ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati.
Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan
regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk
ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat
(4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk
dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya, UU
Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh
mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non
aktif yang bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian
diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang membuat TNI secara institusional
tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat untuk ikut
bertarung dalam pemilihan umum.
Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah
pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau
merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari
rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil
militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain
berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah publik
seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan
paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke
wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan
paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer
dalam membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak
seiring dengan kesadaran dan minat pemilih.
Hal
ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada.
Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum
Gumelar pada pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama
dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang
Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi
pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan
Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahan-kekalahan ini
menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur
yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika
melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu.
Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas
pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara.
Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya
kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik
dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari
figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur
militer selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam
kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer
yang memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup
oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi
TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh
regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari
banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan
presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai politik.
Konsep
kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang memungkiri, pada saat perang
kemerdekaan militer Indonesia adalah satu kesatuan, saling bahu membahu melawan
kolonialisme Belanda pada saat itu, namun fakta sejarah ini tidak bisa kemudian
diklaim sebagai hak sejarah oleh TNI.
“Historical
fallacies (kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa
fakta sejarah harus diperlakukan sebagai hak sejarah. Sekalipun barangkali
fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah anak kandung revolusi dan tak terpisahkan
dari rakyat, sehingga menyandang peran ganda – sebagai militer profesional
sekaligus sebagai kekuatan sosial politik – fakta tersebut tidak bisa dengan
sendirinya menjadi hak”
Konsep
kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru melegitimasi peran sosial
politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis TNI seharusnya bisa
lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan melibatkan rakyat dalam definisi
konvensional adalah paradigma usang. Perlu digagas hubungan sipil militer,
jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI dan masyarakat sipil di negara
demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil adalah
pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui
mekanisme politik yang ada.
Persoalan
paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin pada level
operasional (doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai doktrin Tri Dharma Eka
Karya/Tridek (pengganti doktrin Catur Dharma Eka Karya/Cadek). Paradigma lama
tanpa usaha melakukan redefinisi terhadap konsep kemanunggalan TNI dengan
rakyat menjadikan pertahanan Indonesia masih mengandalkan unsur masyarakat
sipil dalam konsep perang rakyat semesta-nya.