Reformasi Sistem Pengorganisasian Negara pada Pemerintahan
Pusat, Provinsi dan Kabupaten
Birokrasi di Indonesia
mengidap biropatologi yang parah, ditandai oleh
beberapa gejala :
a) tidak adanya grand design yang terencana dan
berkesinambungan dalam rangka mencapai visi dan misi nasional yang telah
ditetapkan dalam RPJP Nasional, sehingga kebijakan yang diambil bersifat adhoc,
parsial, sepotong-sepotong;
b) jumlah pegawai (tetap dan kontrak kerja) setiap
tahun terus membengkak, tanpa ada standar yang jelas mengenai kebutuhan formasi
untuk setiap entitas pemerintahan. Penambahan pegawai lebih didasarkan pada
pendekatan politis untuk menjadikan lembaga pemerintah sebagai penampungan
tenaga kerja yang terus meningkat tetapi belum dapat diserap oleh sektor
lainnya.
c) belum ada standar
kompetensi menurut jenis jabatan, sehingga pengisian jabatan lebih didasarkan
pada like and dislike, yang kemudian mendorong terjadinya politisasi birokrasi.
Hal ini sangat terasa bagi birokrasi di daerah. Setiap lima tahun mereka “memasang dadu” untuk nasib
jabatan mereka tanpa adanya pola pengembangan karier yang jelas.
d) belum adanya pengukuran
kinerja individu yang berbasis pada kompetensi dan berkait dengan pemberian
imbalan. DP3 sebagai alat represi terhadap bawahan masih terus dipertahankan;
e) mekanisme kenaikan
pangkat yang menggunakan model jaman “kuda menggigit besi” masih tetap
dipertahankan. DRH dan DRP HARUS DITULIS TANGAN SENDIRI, dan diisi ulang sejak
dari capeg
f) model organisasi
birokrasi yang digunakan di Indonesia
sudah sangat usang, yakni model organisasi struktural (Generasi Kedua), padahal
teori organisasi sudah berkembang sampai generasi kelima.
BEBERAPA FAKTA EMPIRIK
• Anggaran belanja pegawai sudah jauh melampaui
belanja publik, sehingga keberadaan pemda lebih banyak mengurus dirinya sendiri
dibandingkan mengurus rakyatnya sebagai pemilik kedaulatan. Apakah Pemda
semacam ini masih perlu dipertahankan?
• Organisasi pemerintah daerah umumnya sangat besar,
selain karena desakan dari pegawai yang pangkatnya terus naik (empat tahun kejemur
apel pagi dan siang tanpa prestasi apapun, otomatis naik pangkat)., juga karena
adanya intervensi K/L melalui penyelundupan pasal-pasal dalam UU sektoral.
• Ada paradoksal dalam
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.
Semakin besar urusan diserahkan kepada daerah tetapi birokrasi di tingkat nasional
justru semakin membesar, baik jumlah kementeriannya maupun eselon I nya.
• Perubahan dalam rangka desentralisasi hanya terjadi
pada dua dimensi yakni structural dan fungsional, sedangkan dimensi kulturalnya
tetap sentralistik. Hal tersebut nampak dari adanya dana “dekonsentrasi semu”
(+/- 33 T) dan “ Tugas Pembantuan semu “(+/- 9 T).
• Bentuk kelembagaan pemerintahan
daerah mengikuti bentuk kelembagaan di tingkat nasional, karena ketidakcocokan
model pembagian urusan pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007), yang menyamaratakan
semua kabupaten/kota, maupun semua provinsi. Model “Cafetaria System” yang
digunakan pada PP Nomor 38 Tahun 2007 dalam implementasinya tidak jalan, karena
secara moral, pemerintahan daerah senang apabila memiliki kewenangan yang luas,
dengan harapan dapat bantuan yang lebih besar. Padahal semakin besar kewenangan
pemerintahan, akan semakin besar pertanggung jawabannya kepada publik.
• Melalui prinsip “structure
follow function” , maka struktur organisasi pemerintahan daerah akan membesar
seiring dengan semakin luasnya urusan pemerintahan yang ditawarkan kepada
daerah. Daerah cenderung memilih semuanya, tanpa ada pertimbangan apakah urusan
tersebut dibutuhkan atau tidak didaerahnya. (Dari 8 urusan pilihan, hampir
keseluruhan daerah memilih semua urusan pilihan tersebut, tanpa dikaitkan
dengan visi dan misi daerah otonomnya).